BURNOUT SYNDROME PADA INSTRUKTUR DAN PERLUNYA SOFT SKILLS

BURNOUT SYNDROME PADA INSTRUKTUR DAN PERLUNYA SOFT SKILLS

Oleh Endes Runi Anisah, S.S., M.A *)

 

Sebagai seorang instruktur, pernahkah Anda mengalami kejenuhan, rasa capek berkepanjangan, kurang motivasi kerja, atau merasa tidak bergairah ketika akan mengajar? Anda merasa berat mengajar suatu kelas walaupun siswa sangat bersemangat, energik, dan menyenangkan. Jika jawabannya adalah ya, mungkin Anda adalah seseorang yang mengalami burnout syndrome. Sebenarnya apa pengertian burnout syndrome? Apakah gejala tersebut berbahaya? Apa pencegahannya, dan bagaimana menanganinya?

Secara harafiah, ‘burnout’ berarti ‘terbakar’ atau ‘hangus’. Istilah ‘burnout’ dicetuskan oleh Herbert Freudenberger pada tahun 1973 yang menganalogikan gedung yang ‘burnout’ atau ‘ habis terbakar’. Pada awalnya, gedung tersebut berdiri megah tetapi setelah terbakar gedung itu hanya tampak kerangka saja. Begitu pula dengan seorang instruktur yang mengalami burnout syndrome. Dari luar mereka tampak biasa saja, tetapi mereka cenderung kurang termotivasi untuk mengajar, merasa bosan, kelelahan berkepanjangan, malas bekerja ataupun merasa tidak bisa mengajar. Burnout syndrome banyak dijumpai pada profesional yang bekerja di bidang kemanusiaan  dan berhubungan dengan banyak orang seperti perawat, guru, dosen, instruktur, polisi, dan sebagainya.

Instruktur merupakan profesi yang kompleks dan banyak menyerap energi baik fisik maupun emosional. Tidaklah heran banyak pengajar mengalami burnout syndrome. Gejala ini dapat diakibatkan oleh berbagai macam hal. Pertama, dari kepribadian instruktur tersebut. Instruktur yang cenderung perfeksionis, berdedikasi, dan antusias akan mudah terkena burnout syndrome karena tuntutan dirinya untuk bekerja atau mengajar dengan baik. Kedua, lingkungan kerja. Beban kerja berlebihan dari organisasi juga menjadi salah satu faktor timbulnya burnout syndrome. Gejala burnout berdampak buruk bagi individu dan organisasi. Seseorang akan terganggu kondisi fisik dan emosi jika terkena burnout syndrome. Organisasi juga terkena imbasnya karena individu akan memberikan pelayanan yang rendah.

Burnout syndrome jarang dialami oleh seseorang yang mempunyai soft skills baik. Ilah  Sailah (2007) mendefinisikan soft skills sebagai keterampilan seseorang dalam berhubungan dengan orang lain (inter personal skills) dan keterampilan dalam mengatur dirinya sendiri (intra personal skills) yang mampu  mengembangkan secara maksimal unjuk kerja seseorang. Individu yang mempunyai soft skills yang baik akan mampu mengelola dirinya dalam menghadapi beban kerja organisasi, memecahkan masalah, mengendalikan emosi dalam diri, menerima nasihat orang lain, mengatur waktu, dan selalu berpikir positif. Selain itu, individu dengan soft skills baik juga mampu berhubungan atau berinteraksi dan bekerja sama dengan orang lain. Oleh karena itu, individu yang mempunyai soft skills yang baik cenderung tidak mengalami burnout syndrome.

Untuk mencegah timbulnya burnout syndrome, ada beberapa cara yang dapat dilakukan:

  1. Merencanakan segala aktivitas yang akan dilakukan: buatlah perencanaan kegiataan yang akan dilakukan dalam periode waktu tertentu, misalnya 3 bulan, 6 bulan atau 12 bulan;
  2. Memprioritaskan kegiatan yang penting: buatlah skala prioritas dari berbagai pekerjaan yang harus dilakukan dengan memperhatikan tenggat waktu masing-masing pekerjan;
  3. Menyusun refleksi kegiatan dari hal-hal yang dipelajari: susunlah jurnal refleksi dari hal-hal yang Anda pelajari dalam kurun waktu tertentu;
  4. Mempunyai hobi dan ketertarikan selain di bidang yang digeluti:
  5. Berpikiran positif;
  6. Menyelesaikan masalah dengan cepat dan efisien;
  7. Cukup istirahat dan olahraga;
  8. Mengajar dan bekerja dari hati;
  9. Mengenali batas kemampuan diri;

Tindakan-tindakan preventif di atas dapat dilakukan oleh individu untuk mencegah burnout syndrome. Dari hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa soft skills merupakan bagian penting dari kompetensi seseorang agar berhasil menghadapi tantangan dalam karier maupun kehidupan pribadi.

*) Penulis merupakan instruktur di Balai Besar Pengembangan Latihan Kerja Bekasi